Ibu-ibu pecinta lingkungan di sini sedang 'berani bermimpi' punya pengolahan sampah daun sendiri. Tapi masih meraba-raba seperti apa teknisnya. Lokasinya, pengelolanya dan seterusnya. Teknik pengomposan daun insya Allah kami sudah belajar dari Kebun Karinda,Lebak Bulus. Dan sudah dicoba, berhasil panen kompos kualitas baik. Tinggal pelaksanaan 'mimpi' kita tadi. Di mana lokasi pengomposan itu nantinya? Seperti apa daun dikumpulkan? Berapa komposter yang harus kita sediakan? Seperti apa komposter yang akan kita gunakan? Bagaimana pengawasan kerja komposting ini? Berapa pekerja yang diperlukan? Dan teknis pengawasannya sejak start pengomposan sampai panen... *ribed memang kalau pekerjaan hanya dipikirin tapi gak dikerjain. Saking ribednya sampe bisa-bisa putus asa sebelum memulai...haha*
Akhirnya di ujung keribetan itu, kita putuskan untuk menyediakan 3 komposter daun ukuran 1 x1 x1 meter kubik. 2 komposter untuk pengomposan, dan 1 untuk pengumpulan daun. Langkah awal kita akan coba buat sketsa/denah lokasi yang diperlukan. Seluas apa lahan yang akan kita pakai. Gambar itu nantinya akan kita bawa dalam rangka minta ijin kepada pihak manajemen kompleks. Alhamdulillah, dr.avie yang putrinya seorang arsitek, bersedia membantu membuatkan denahnya. Selain komposter dan semua pernak perniknya, juga bakal ada kebun sayur dan tempat pengumpulan sampah anorganik seperti sachet bekas minuman,botol plastik dll.
Sambil nunggu denah selesai, saya dan mba megah jalan ke tempat,yang katanya, pengolahan sampah dekat kompleks. Lumayan bisa buat 'contekan' di kompleks kami. Atau bahkan kita bisa setor sampah daun ke situ. Praktis kan. Yang penting niat awal memanfaatkan sampah jadi 'sesuatu' tetap tercapai.
Diantar Pak Marzuki dengan motornya, kita buntutin dia dari belakang. Sempet agak ragu dengan jalannya yang makin kecil, makin kecil. Gak salah nih mobil bisa masuk?? Ternyata memang bisa. Karena sepanjang jalan, banyak mobil parkir di rumah-rumah kanan kiri jalan. Jakarta oh Jakarta....
Menjelang tempat pengolahan sampah, jalan semakin menciut. Saya putuskan untuk tidak masuk, tapi parkir di sebuah bengkel dekat situ. Bengkel mobil? bukaannn... Ini bengkel yang isinya protolan pesawat boeing. Ya...protolan pesawat. Ada kursi pesawat di situ. Lemari-lemari kabin dan lain-lain. Hihi....seru liatnya. Entah mau dijual atau diapain itu.
Keluar dari mobil, masih 100 meter dari tempat pengolahan sampah, bau busuk sudah langsung tercium. Kita jalan terus ngikutin pak marzuki. Dan suasana kumuh mulai jelas. Botol-botol plastik di kanan kiri kita, bertumpuk-tumpuk. Rumah-rumah pemulung yang isinya sampah. Para pemulung yang duduk-duduk sambil merokok dan ngobrol. Tapi mereka ramah. Selokan mampet full sampah. Tergenang dan hitam. Dan baunya semakin mengganggu, bukan cuma bau, tapi bahkan agak sakit di hidung....
Tidak jauh dari pintu masuk, tiba-tiba ada ruangan pembakaran yang asapnya membumbung ke langit. Apinya ada di bagian tengah, tidak terlalu besar, tapi sepertinya tidak pernah akan mati. Karena sampah di dalamnya....sangat banyak, bertumpuk-tumpuk gak karuan. Melewati si tungku sampah ini, panasnya terasa. Dan benar, ketika kami tanya pegawai di situ, mereka bilang apinya memang tidak pernah mati. Wah, bahaya banget kalau ada angin kencang. Astaghfirullah, bisa-bisa apinya membesar dan liar. Ckckck...
Ruang pembakar sampah. Entah pembagian sampahnya seperti apa, apa saja sampah yang dibakar dan apa yang dikomposkan. Gak jelas. *Api tidak pernah mati* |
Di kanan kiri gedung pengolah sampah ini, sampah berserakan di mana-mana. Depan, belakang, samping. Di semua tempat. Dan baunya.....sungguh gak bisa ditolelir. Kecuali oleh penghuni dan pegawai di sana yang sudah kebal pastinya. Kasian....
Tumpukan sampah di samping gedung dan 'insinerator'. Dominan plastik ya? Memang wajib diet plastik nih....sudah sangat mendesak. |
Selokan yang sempit, kotor dan kumuh |
Begitu masuk gedungnya, terlihat gunungan sampah yang luas dan banyak sekali. Beberapa pekerja sedang mengayak sampah untuk diambil komposnya. Kompos? Ya sebetulnya ini bukan kompos baik, karena dihasilkan dari proses pembusukan.
Menurut para pekerjanya, gunungan ini sudah tinggal 1/4 dari gunungan sampah sebenarnya. Padahal ini kami lihat sudah sangat luas dan banyak sekali. |
Pekerja di sana mengaku, sampah dari warga itu ditumpuk begitu saja. Dibalik sesekali,banyak belatung di dalamnya, lalu setelah beberapa bulan semua belatung mati. Kemudian diayak, dibuang bagian plastik dan lain-lainnya. Hasil kompos ini dikirim ke dinas kota (kalau tidak salah). Mungkin dimanfaatkan untuk pertamanan kota kali ya. Menurut Bapak dan Ibu Karinda, tanah yang dihasilkan dari proses pembusukan, tidak ada vitaminnya lagi. Tinggal ampasnya saja, karena prosesnya yang salah. Tanah ini tidak akan menyuburkan tanaman kita.
Sampah yang tidak lolos ayakan sangat banyak sekali. Rata-rata adalah plastik |
Sampah menggunung full plastik itu sedang diayak.
Sampah yang menggunung itu sedang diayak. Sebetulnya ada alat pengayak khusus, tapi rusak. Jadilah dilakukan pengayakan manual. |
Alat pengayak sampah/kompos yang rusak diletakkan di pinggir. Katanya mau diperbaiki.
Penyaring kompos yang rusak diletakkan di pinggir. Katanya mau diperbaiki.
Alat pengomposan yang rusak |
Yang dekat tembok itu 'kompos' hasil ayakan |
Ah, ternyata bukan tempat pengolahan sampah yang bisa dicontek.
Itulah, kalau niatnya mau nyontek, hasilnya jadi kacau deh :p
Akhirnya kita pulang dengan hati sumpek, kasian sama pemulung-pemulung itu. Lingkungan itu. Betapa kumuh, betapa gak terurus, dan tidak ada orang yang peduli. Mungkin 3-4 bulan lagi kita coba kunjungi lagi. Siapa tau ada perubahan. Kata mereka, pemerintah Depok sedang berencana memperbaiki tempat pengolahan sampah itu. Insya Allah deh pak walikota Depok ya. Mudah-mudahan. Nanti saya datang lagi bulan April atau Mei. Bawa kamera...hehehe.
Wassalam, ibu-ibu Greeny di Green Andara Residence. (awal Desember 2014)
No comments:
Post a Comment