Tuesday, 16 December 2014

Jalan-jalan ke tempat pengolahan sampah di daerah Pangkalan Jati,Depok

Walaupun termasuk wilayah Depok, tapi daerah yang kami kunjungi ini berbatasan dengan Jakarta Selatan. Hanya 10 menit dari kompleks tempat kami tinggal di Pondok Labu. Tapi jalannya ya lumayan, kecil dan berbelok-belok. Melewati rumah-rumah yang cukup padat. Lebih mirip gang sebetulnya, tapi mobil bisa wara-wiri walaupun jalannya pas-pasan.

Ibu-ibu pecinta lingkungan di sini sedang 'berani bermimpi' punya pengolahan sampah daun sendiri. Tapi masih meraba-raba seperti apa teknisnya. Lokasinya, pengelolanya dan seterusnya. Teknik pengomposan daun insya Allah kami sudah belajar dari Kebun Karinda,Lebak Bulus. Dan sudah dicoba, berhasil panen kompos kualitas baik. Tinggal pelaksanaan 'mimpi' kita tadi. Di mana lokasi pengomposan itu nantinya? Seperti apa daun dikumpulkan? Berapa komposter yang harus kita sediakan? Seperti apa komposter yang akan kita gunakan? Bagaimana pengawasan kerja komposting ini? Berapa pekerja yang diperlukan? Dan teknis pengawasannya sejak start pengomposan sampai panen... *ribed memang kalau pekerjaan hanya dipikirin tapi gak dikerjain. Saking ribednya sampe bisa-bisa putus asa sebelum memulai...haha*

Akhirnya di ujung keribetan itu, kita putuskan untuk menyediakan 3 komposter daun ukuran 1 x1 x1 meter kubik. 2 komposter untuk pengomposan, dan 1 untuk pengumpulan daun. Langkah awal kita akan coba buat sketsa/denah lokasi yang diperlukan. Seluas apa lahan yang akan kita pakai. Gambar itu nantinya akan kita bawa dalam rangka minta ijin kepada pihak manajemen kompleks. Alhamdulillah, dr.avie yang putrinya seorang arsitek, bersedia membantu membuatkan denahnya. Selain komposter dan semua pernak perniknya, juga bakal ada kebun sayur dan tempat pengumpulan sampah anorganik seperti sachet bekas minuman,botol plastik dll.

Sambil nunggu denah selesai, saya dan mba megah jalan ke tempat,yang katanya, pengolahan sampah dekat kompleks. Lumayan bisa buat 'contekan' di kompleks kami. Atau bahkan kita bisa setor sampah daun ke situ. Praktis kan. Yang penting niat awal memanfaatkan sampah jadi 'sesuatu' tetap tercapai.

Diantar Pak Marzuki dengan motornya, kita buntutin dia dari belakang. Sempet agak ragu dengan jalannya yang makin kecil, makin kecil. Gak salah nih mobil bisa masuk?? Ternyata memang bisa. Karena sepanjang jalan, banyak mobil parkir di rumah-rumah kanan kiri jalan. Jakarta oh Jakarta....

Menjelang tempat pengolahan sampah, jalan semakin menciut. Saya putuskan untuk tidak masuk, tapi parkir di sebuah bengkel dekat situ. Bengkel mobil? bukaannn... Ini bengkel yang isinya protolan pesawat boeing. Ya...protolan pesawat. Ada kursi pesawat di situ. Lemari-lemari kabin dan lain-lain. Hihi....seru liatnya. Entah mau dijual atau diapain itu.

Keluar dari mobil, masih 100 meter dari tempat pengolahan sampah, bau busuk sudah langsung tercium. Kita jalan terus ngikutin pak marzuki. Dan suasana kumuh mulai jelas. Botol-botol plastik di kanan kiri kita, bertumpuk-tumpuk. Rumah-rumah pemulung yang isinya sampah. Para pemulung yang duduk-duduk sambil merokok dan ngobrol. Tapi mereka ramah. Selokan mampet full sampah. Tergenang dan hitam. Dan baunya semakin mengganggu, bukan cuma bau, tapi bahkan agak sakit di hidung....

Tidak jauh dari pintu masuk, tiba-tiba ada ruangan pembakaran yang asapnya membumbung ke langit. Apinya ada di bagian tengah, tidak terlalu besar, tapi sepertinya tidak pernah akan mati. Karena sampah di dalamnya....sangat banyak, bertumpuk-tumpuk gak karuan. Melewati si tungku sampah ini, panasnya terasa. Dan benar, ketika kami tanya pegawai di situ, mereka bilang apinya memang tidak pernah mati. Wah, bahaya banget kalau ada angin kencang. Astaghfirullah, bisa-bisa apinya membesar dan liar. Ckckck...


Ruang pembakar sampah. Entah pembagian sampahnya seperti apa, apa saja sampah yang dibakar dan apa yang dikomposkan. Gak jelas. *Api tidak pernah mati*

Di kanan kiri gedung pengolah sampah ini, sampah berserakan di mana-mana. Depan, belakang, samping. Di semua tempat. Dan baunya.....sungguh gak bisa ditolelir. Kecuali oleh penghuni dan pegawai di sana yang sudah kebal pastinya. Kasian....

Tumpukan sampah di samping gedung dan 'insinerator'. Dominan plastik ya?
Memang wajib diet plastik nih....sudah sangat mendesak. 


Selokan yang sempit, kotor dan kumuh


Begitu masuk gedungnya, terlihat gunungan sampah yang luas dan banyak sekali. Beberapa pekerja sedang mengayak sampah untuk diambil komposnya. Kompos? Ya sebetulnya ini bukan kompos baik, karena dihasilkan dari proses pembusukan.


Menurut para pekerjanya, gunungan ini sudah tinggal 1/4 dari gunungan sampah sebenarnya.
Padahal ini kami lihat sudah sangat luas dan banyak sekali.


Pekerja di sana mengaku, sampah dari warga itu ditumpuk begitu saja. Dibalik sesekali,banyak belatung di dalamnya, lalu setelah beberapa bulan semua belatung mati. Kemudian diayak, dibuang bagian plastik dan lain-lainnya. Hasil kompos ini dikirim ke dinas kota (kalau tidak salah). Mungkin dimanfaatkan untuk pertamanan kota kali ya. Menurut Bapak dan Ibu Karinda, tanah yang dihasilkan dari proses pembusukan, tidak ada vitaminnya lagi. Tinggal ampasnya saja, karena prosesnya yang salah. Tanah ini tidak akan menyuburkan tanaman kita.

Sampah yang tidak lolos ayakan sangat banyak sekali. Rata-rata adalah plastik


Sampah menggunung full plastik itu sedang diayak.
Sampah yang menggunung itu sedang diayak. Sebetulnya ada alat pengayak khusus, tapi rusak.
Jadilah dilakukan pengayakan manual.

Alat pengayak sampah/kompos yang rusak diletakkan di pinggir. Katanya mau diperbaiki.


Penyaring kompos yang rusak diletakkan di pinggir. Katanya mau diperbaiki.
Alat pengomposan yang rusak


Yang dekat tembok itu 'kompos' hasil ayakan 


Ah, ternyata bukan tempat pengolahan sampah yang bisa dicontek.
Itulah, kalau niatnya mau nyontek, hasilnya jadi kacau deh :p

Akhirnya kita pulang dengan hati sumpek, kasian sama pemulung-pemulung itu. Lingkungan itu. Betapa kumuh, betapa gak terurus, dan tidak ada orang yang peduli. Mungkin 3-4 bulan lagi kita coba kunjungi lagi. Siapa tau ada perubahan. Kata mereka, pemerintah Depok sedang berencana memperbaiki tempat pengolahan sampah itu. Insya Allah deh pak walikota Depok ya. Mudah-mudahan. Nanti saya datang lagi bulan April atau Mei. Bawa kamera...hehehe.

Wassalam, ibu-ibu Greeny di Green Andara Residence. (awal Desember 2014)

Tuesday, 2 September 2014

Sampah Organik untuk Takakura

Buat yang jijik sama cacing atau belatung atau mahluk melata lainnya...maka pengomposan ala takakura ini pas banget. Tanpa cacing, tanpa belatung. Bersih, kering, bonus wangi aroma terapi ketika isi keranjang diaduk. Bagaimana bisa begitu?

Karena mikroba takakura ini memang doyan yang bersih-bersih dan segar. Sampah yang kita masukkan setiap hari adalah sisa sayuran, kulit buah, kulit telur, biji-bijian. Dan semuanya harus bersih, bukan yang sudah membusuk.

kulit telur lebih baik bila dibilas dulu, baru diremas

Hindari sampah takakura kita dari lalat. Kalau sampah organik kita dilalerin, dan sudah ada telur lalatnya maka jangan heran kalau beberapa hari ke depan ada beberapa mahluk kecil putih di dalam keranjang takakura kita. Pisahkan sampah ketika memasak. Sediakan wadah untuk sampah takakura, dan sampah non takakura. Bila dapur kita bersih, otomatis sampah takakura aman dari lalat. Maka keranjang takakura kita aman dari binatang melata :)

Di dekat tempat cuci piring/dapur, sediakan 2 wadah sampah.
Pakai saja pot bekas atau apa yang ada. Satu untuk sampah takakura.
Dan satunya lagi untuk sampah lain. Lebih idealnya lagi, sedia sampah khusus kucing seperti tulang dll :D


Contoh sampah takakura...
Kulit lemon, kulit melon dan sisa acar yang gak disentuh orang rumah :)

kulit buah nih pasti

Efek bikin bumbu kebuli nih kayaknya. Sampahnya kulit bawang sekantong penuh

Masak semur, jadi sampahnya ada sisa buncis dan kulit wortel


Bila sampah mulai agak basah, mungkin itu tanda-tanda bakal ada belatung. Jangan panik. Bisa dibaca di sini. Semangat 'go green' :)






Thursday, 28 August 2014

Evolusi Kardus Menjadi Kantong Blacu pada Keranjang Takakura

Seperti dalam artikel sebelumnya dijelaskan bahwa awalnya keranjang takakura yang berlubang-lubang itu, ditutupi oleh kardus. Yang fungsinya untuk menghindari kompos tumpah keluar dan juga untuk menyerap kelebihan cairan atau kelembaban.
Keranjang takakura aman ditutupi kardus. Isinya gak akan keluar-keluar.
Bersih, tidak bau sama sekali, malahan segar fresh....ditaro di kamarpun oke kok :D


Kalau pakai kardus bekas aqua gelas paass banget


Namun seiring berjalannya waktu, setiap hari diisi sampah organik seperti kulit buah dan seterusnya, kardus ini mulai lembab. Lama-lama sedikit basah, dan akhirnya sobek sedikit demi sedikit. Kompos pun mulai keluar dan sekeliling keranjang jadi kurang bersih. Kalau didiamkan pasti akan semakin besar lubang-lubangnya. Itu artinya kita harus mengganti kardus ini dengan yang baru.

Proses mengganti kardus ini buat saya cukup melelahkan. Pertama kita harus mengeluarkan semua kompos di dalam keranjang dan bantal sekamnya. Kemudian mencuci keranjang sampai bersih-ya sekalian dibersihkan dulu jadi seperti baru. Setelah itu baru pasang bantal sekam lagi, lalu kardus, barulah semua kompos dimasukkan kembali. 

Karena cukup menyita waktu dan tenaga (padahal kurang lebih cuma 3 bulan sekali siih), maka saya berpikir untuk mencari cara yang lebih praktis. Saya teringat 'kardus plastik' yag sering dijual di toko buku. Karena sifat plastik yang lebih awet dan anti basah, saya mencoba mengganti kardus kertas dengan  kardus plastik. 

impraboard alias kardus plastik



pengikat kabel listrik



Setelah kardus plastik dipotong sesuai ukurang keranjang, lalu diikat di dinding keranjang takakura dengan kabel listrik. Kemudian bantal sekam diletakkan di dasar keranjang, lalu kompos dimasukkan lagi dan ditutup dengan bantal sekam di atasnya. Proses pengomposanpun dilanjutkan seperti biasa. Besoknya saya lihat, baik-baik saja itu kompos. Alhamdulillah. "Ini kardus anti basah, anti bocor," begitu saya pikir...
Tapi besoknya kompos mulai terlihat lembab. Besoknya makin lembab dan mulai agak basah. Diaduknya juga berat. Ternyata tidak berhasil....

Buru-buru saya tanya ke petugas bumi karinda, tempat saya membeli paket takakura, ternyata memang tidak bisa pakai kardus plastik. Karena plastik tidak bisa menyerap air. Rupanya begitu...akhirnya saya coba gunakan sejenis karton duplex yang paling tebal,board 25 kalau tidak salah namanya. Saking tebalnya, sudah menyerupai triplek. Berat. Lalu saya potong sesuai ukuran keranjang dan dipasang dengan pengikat kabel listrik tadi. Berhasil.

Masangnya susehh....haha.. Ini pengalaman yang gagal.
Jangan ditiru yak
Lalu dipasang deh....
Hidup penuh perjuanangan sodara-sodara. Demi go green....

Hasilnya cukup lumayan, bertahan sedikit lebih lama. Ya sekitar 4 bulan. Setelah itu kembali...sobek...:(

Setelah 4 bulan, kembali si cardboard hancur....sehancur hatiku

Lalu percobaan selanjutnya, memakai kain blacu yang diisi sekam. Cara memasangnya hampir sama dengan karton tebal tadi yaitu menggunakan pengikat kabel plastik. Kain blacu dijahit seperti bantal sofa dengan resleting. Lalu dipasang dan diisi sekam. Bila perlu kita tambahkan lubang dengan solder listrik, untuk merapikan posisi bantal sekam.

Pemakaian bantal sekam dari kain blacu ini berhasil. Dalam 6 bulan kondisi keranjang masih baik-baik saja. Blacu juga tergolong murah harganya, yaitu hanya 18 ribu/meter. Tapi masih ada sedikit masalah. Kekurangannya adalah pemasangannya yang agak sulit. Beberapa titik lubang baru harus dibuat dengan solder supaya bantalan terpasang dengan baik. Bila kurang pas menutupi lubang pada dinding keranjang, maka kompos ada yang keluar ke lantai. Jadi sekeliling keranjang kurang bersih.

Akhirnya muncul ide baru, untuk membuat keranjang ini lebih praktis, lebih bersih, lebih cantik. Saya coba minta agar kain blacu dijahit seperti kantong, dengan karet di bagian atasnya. Alhamdulillah asistenku di rumah bisa menjahit. Keranjang diukur dan jadilah kantong blacu berkaret yang tinggal dimasukkan begitu saja. Sangat praktis.

Kardus penutup keranjang diganti dengan bantalan blacu isi sekam.
Sangat bagus hasilnya. Blacu ternyata kain yang kuat, mudah menyerap air
tapi juga mudah kering :)


Masangnya lumayan sulit/cape juga siih.
Tapi hasilnya memuaskan. Keranjang takakura anti repot!

Semoga cerita evolusi kardus menjadi kantong blacu ini bermanfaat buat semua yang ingin dan pernah memakai keranjang takakura. Kalau pengomposan dibuat praktis, bersih dan higienis, mudah-mudahan semakin banyak rumah yang aktif membuat kompos. Sehingga sampah lingkungan sedikit demi sedikit mulai berkurang. Dan jangan lupa, tanamanpun semakin subur...:D

Pada akhirnya KANTONG SEKAM ini kembali berevolusi menjadi lebih mudah, lebih praktis, lebih cantik.

Blacu dijahit seperti kantong, dengan karet di bagian atasnya.
Sangat praktis, bersih, nyaman. Sangat rekomen banget 
Cara memasang kantong blacu pada keranjang takakura.


Hasil kompos takakura ibarat kompos gizi yang bisa ditaburkan ke tanaman hias atau halaman.

Bukan sulap, bukan sihir. Ini efek kompos takakura lho







Wednesday, 27 August 2014

Kompleks Green Andara, Pondok Labu, Jakarta Selatan

Hijau dan asri. Itulah kesan pertama kalau masuk ke kompleks Green Andara Residence, Pondok Labu, Jaksel. Rasanya hampir semua penghuni kompleks, ataupun tamu yang masuk pasti kesengsem dengan pohonnya yang besar-besar. Banyak diantaranya yang berusia puluhan tahun. Ada pohon asem, pohon rambutan, pohon durian, dan masih banyak lagi.

Menuju pintu masuk Cluster Elvera


Pohon tangkil *kayaknya sih*


Pohon apa ya melintang di tengah jalan





Pohon rambutan banyak di sini, dan buahnya banyak









Yang paling besar itu pohon mangga.
















Pohon alpukat? yang besaar dan rindang


Tempat tupai-tupai kecil berkejaran. Sayang malu-malu difoto













Lembab, agak gelap, nyamuknya buanyak


Pohon-pohon di lokasi perumahan bekas kompleks schlumberger ini sampai menutupi jalan










Mau berenang? pake obat nyamuk oles dulu...


















Tupai di siang hari, kalau malam banyak musang di sini
















Karena 'green' itulah, di kompleks kami ini setiap hari jalan-jalannya selalu diramaikan oleh ibu-ibu penyapu jalan. Tugasnya membersihkan jalan dan taman dari rontokan daun. Kalau dilihat sekilas, sampah daun yang mereka kumpulkan seharian mungkin bisa mencapai 10 m kubik. Apalagi ketika hujan datang, sampah daun bisa mencapai 2 kalinya. Setelah hujan, sampah daun biasanya tumpah ruah mengisi jalanan dan kebun-kebun. Kerja ekstra keras buat ibu-ibu penyapu jalan :)

Bagaimana ya seandainya kita coba mengolah daun-daun itu menjadi kompos?



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...